Lalu,
Rasulullah menatap puterinya itu dengan pandangan yang menggetarkan.
Seolah-olah bahagian demi bahagian wajah anaknya itu hendak dikenang.
“Ketahuilah, dialah yang menghapuskan kenikmatan sementara, dialah yang
memisahkan pertemuan di dunia. Dialah malaikatul maut,” kata Rasulullah,
Fatimah pun menahan ledakkan tangisnya. Malaikat maut datang
menghampiri, tapi Rasulullah menanyakan kenapa Jibril tidak ikut sama
menyertainya.
Kemudian
dipanggilah Jibril yang sebelumnya sudah bersiap di atas langit dunia
menyambut ruh kekasih Allah dan penghulu dunia ini. “Jibril, jelaskan
apa hakku nanti di hadapan Allah?” Tanya Rasululllah dengan suara yang
amat lemah. “Pintu-pintu langit telah terbuka, para malaikat telah
menanti ruhmu.
Semua
syurga terbuka lebar menanti kedatanganmu,” kata Jibril. Tapi itu
ternyata tidak membuatkan Rasulullah lega, matanya masih penuh
kecemasan.
“Engkau
tidak senang mendengar khabar ini?” Tanya Jibril lagi. “Khabarkan
kepadaku bagaimana nasib umatku kelak?” “Jangan khawatir, wahai Rasul
Allah, aku pernah mendengar Allah berfirman kepadaku: ‘Kuharamkan syurga
bagi siapa saja, kecuali umat Muhammad telah berada di dalamnya,” kata
Jibril.
Detik-detik
semakin dekat, saatnya Izrail melakukan tugas. Perlahan ruh Rasulullah
ditarik. Nampak seluruh tubuh Rasulullah bersimbah peluh, urat-urat
lehernya menegang. “Jibril, betapa sakit sakaratul maut ini.”
Perlahan
Rasulullah mengaduh. Fatimah terpejam, Ali yang di sampingnya menunduk
semakin dalam dan Jibril memalingkan muka. “Jijikkah kau melihatku,
hingga kau palingkan wajahmu Jibril?” Tanya Rasulullah pada Malaikat
pengantar wahyu itu. “Siapakah yang sanggup, melihat kekasih Allah
direnggut ajal,” kata Jibril. Sebentar kemudian terdengar Rasulullah
mengaduh, karena sakit yang tidak tertahankan lagi. “Ya Allah, dahsyat
nian maut ini, timpakan saja semua siksa maut ini kepadaku, jangan pada
umatku. “Badan Rasulullah mulai ding! in, kaki dan dadanya sudah tidak
bergerak lagi.
Bibirnya
bergetar seakan hendak membisikkan sesuatu, Ali segera mendekatkan
telinganya. “Uushiikum bis shalati, wa maa malakat aimanuku –
peliharalah shalat dan peliharalah orang-orang lemah di antaramu.” Di
luar pintu tangis mulai terdengar bersahutan, sahabat saling berpelukan.
Fatimah menutupkan tangan di wajahnya, dan Ali kembali mendekatkan
telinganya ke bibir Rasulullah yang mulai kebiruan. “Ummatii, ummatii,
ummatiii?” – “Umatku, umatku, umatku”
Dan,
berakhirlah hidup manusia mulia yang memberi sinaran itu. Kini,
mampukah kita mencintai sepertinya? Allahumma sholli ‘ala Muhammad wa
baarik wa salim ‘alaihi Betapa cintanya Rasulullah kepada kita.
NB:
Kirimkan
kepada sahabat-sahabat muslim lainnya agar timbul kesadaran untuk
mencintai Allah dan RasulNya, seperti Allah dan Rasulnya mencintai kita.
Karena sesungguhnya selain daripada itu hanyalah fana belaka. Amin…
Usah
gelisah apabila dibenci manusia karena masih banyak yang menyayangi mu
di dunia tapi gelisahlah apabila dibenci Allah karena tiada lagi yang
mengasihmu diakhirat.
Artikel Terkait
0 komentar:
Posting Komentar