Kisah berikut saya
dapatkan dari seseorang yang mengirimnya ke email saya, katanya kisah
ini didapatnya dari salah satu majalah, tidak diketahui siapa
penulisnya. Karena saya anggap cerita ini menarik saya ketik saja, dan
ingin saja berbagi dengan Anda. Semoga dapat diambil manfaatnya.
SEORANG ANAK PENJUAL KUE
Selesai
berlibur dari kampung, saya harus kembali ke Jakarta. Mengingat jalan
tol yang juga padat, saya menyusuri jalan lama. Saya singgah sebentar di
sebuah restoran. Begitu memesan makanan, seorang anak lelaki berusia
lebih kurang 12 tahun muncul di depan. “Abang mau beli kue?” Katanya
sambil tersenyum. Tangannya segera menyelak daun pisang yang menjadi
penutup bakul kue jajanannya. “Tidak Dik, Abang sudah pesan makanan”
jawab saya ringkas. Dia berlalu. Begitu pesanan tiba, saya langsung
menikmatinya. Lebih kurang 20 menit kemudian saya melihat anak tadi
menghampiri pelanggan lain, sepasang suami istri sepertinya. Mereka juga
menolak, dia berlalu begitu saja.
”Abang sudah makan, tak mau beli kue saya?” tanyanya tenang ketika
menghampiri meja saya. ”Abang baru selesai makan Dik, masih kenyang
nih!” kata saya sambil menepuk-nepuk perut. Dia pergi, tapi cuma di
sekitar restoran. Sampai di situ dia meletakkan bakulnya masih penuh.
Setiap yang lalu dia tanya, “tak mau beli kue saya Bang, Pak, Kakak atau
Ibu”. Molek budi bahasanya. Sambil memperhatikan, terbersit rasa kagum
dan kasihan di hati saya melihat betapa gigihnya dia berusaha.
Setelah
membayar harga makanan dan minuman, saya terus pergi ke mobil. Anak itu
saya lihat berada agak jauh di deretan kedai yang sama. Belum sempat
saya menghidupkan mesin, anak tadi berdiri di tepi mobil. Dia
menghadiahkan sebuah senyuman. “Abang sudah kenyang, tapi mungkin Abang
perlukan kue saya untuk adik-adik, Ibu atau Ayah abang” katanya sopan
sekali sambil tersenyum. Sekali lagi dia memamerkan kue dalam bakul
dengan menyelak daun pisang penutupnya. Saya tatap wajahnya, bersih dan
bersahaja. Terpantul perasaan kasihan di hati. Lantas saya buka dompet,
dan mengulurkan selembar uang Rp20.000,- padanya. “Ambil ini Dik! Abang
sedekah, tak usah Abang beli kue itu”. Saya berkata ikhlas karena
perasaan kasihan meningkat mendadak. Anak itu menerima uang tersebut,
lantas mengucapkan terima kasih terus berjalan kembali ke kaki lima
deretan kedai. Saya gembira dapat membantunya.
Setelah mesin mobil saya hidupkan dan saya akan mulai beranjak,
alangkah terperanjatnya saya melihat anak itu mengulurkan Rp20.000,-
pemberian saya itu kepada seorang pengemis yang buta kedua matanya. Saya
hentikan mobil, memanggil anak itu. “Kenapa Bang, mau beli kue kah?”
tanyanya. “Kenapa Adik berikan duit Abang tadi pada pengemis itu?” kata
saya tanpa menjawab pertanyaan. “Bang, saya tak bisa ambil duit itu.
Emak marah kalau dia tahu saya mengemis. Kata emak kita mesti bekerja
mencari nafkah karena Allah.
Kalau dia
tahu saya bawa duit sebanyak itu pulang, sedangkan jualan masih banyak,
Mak pasti marah. Kata Mak mengemis kerja orang yang tak berupaya, saya
masih kuat Bang!” katanya begitu lancar.
Saya heran
sekaligus kagum dengan pegangan hidup anak itu saya lalu bertanya berapa
harga semua kue dalam bakul itu. “Abang mau beli semua kah?” dia
bertanya dan saya cuma mengangguk. “Rp25.000,- saja Bang” katanya,
Selepas dia memasukkan satu persatu kuenya ke dalam plastik, saya
ulurkan Rp25.000,-. Dia mengucapkan terima kasih dan terus pergi. Saya
perhatikan dia hingga hilang dari pandangan. Dalam perjalanan, baru saya
terpikir untuk bertanya statusnya. Anak yatim kah? Siapakah wanita
berhati mulia yang melahirkan dan mendidiknya? Terus terang saya
katakan, saya beli kuenya bukan lagi atas dasar kasihan, tetapi rasa
kagum dengan sikapnya yang dapat menjadikan kerjanya suatu penghormatan.
Sesungguhnya saya kagum dengan sikap anak itu. Dia menyadarkan saya,
siapa kita sebenarnya.
Catatan:
Semoga cerita di atas bisa menyadarkan kita tentang arti pentingnya
kerja. Bukan sekadar untuk uang semata. Jangan sampai mata kita menjadi
“hijau” karena uang sampai akhirnya melupakan apa arti pentingnya
kebanggaan profesi yg kita miliki. Sekecil apapun profesi itu, kalo kita
kerjakan dengan sungguh-sungguh, pastilah akan berarti besar.Semoga sukses selalu beserta anda.
Artikel Terkait
0 komentar:
Posting Komentar