
Pertama,
malu, bahwa doa itu lebih mereka dapat dari sekolah, katimbang dari
kami, orang tuanya. Si SD lah yang membawa doa itu ke rumah, si balita
menirunya dan kami sekadar menjaga dan mengingatkannya. Kedua, malu
terhadap kemampuan kami yang cuma sebagai pengingat itu sementara kami
sendiri sering lupa mengerjakan hal serupa.
Malu
berikutnya jauh lebih serius. Betapa anak-anak itu bisa demikian kokoh
dalam menjaga kewajibannya. Sekali meneken kontrak kesanggupan, mereka
akan mematuhinya sepenuh hati. Dan dampaknya sungguh membuat saya iri.
Sekecil itu, mereka bahkan telah sanggup membuat jarak yang jelas dengan
setan. Di dua kegiatan utamanya, makan dan tidur, mereka jelas-jelas
sudah menolak bersinggungan dengan setan.
Sementara tidur saya? Aduh, sambil tidur, tak jarang kepala ini sesak oleh rencana dead line,
penuh oleh judul-judul berita, keluhan-keluhan hidup, dan tegang oleh
perhitungan-perhitungan hari depan. Mata memang terpejam, tapi sesak di
kepala itu membuat si tidur tak lebih adalah anyaman kegelisahan.
Buntutnya? Nama Tuhan nyelip di gelap malam.
Lalu
mutu makan apa pula ini, yang sambil mengunyah pun dering telepon terus
menyalak di sana-sini. Telepon yang di meja, yang di saku. Semua dering
itu menguntit bagai hantu. Jika ia berupa dering kegembiraan, kita bisa
lupa lapar, lupa waktu. Jika ia berupa dering masalah, sama saja makan
juga bisa terhenti sebelum waktu. Buntutnya serupa pula, untuk berdoa,
serasa tak lagi ada waktu. Jika sikap makan dan sikap tidur pun sudah
begini tidak bermutu, lalu kualitas hidup seperti apa pula yang saya
punya.
Daftar
malu berikutnya, jauh lebih serius lagi. Betapa ketulusan anak dalam
menunaikan kewajibannya dengan cara yang bebas prasangka itu, dengan
kepatuhan sempurna itu, malah makin menegaskan aib orang tuanya belaka.
Betapa saya ini, di depan mereka, tak lebih dari Pendeta Durna saja,
yang dengan gagah menyuruh muridnya, Bima, meningkatkan mutu hidup
dengan cara yang mustahill, mencari sarang angin. Sementara Sang Bima
benar-benar memperoleh apa yang dicarinya, Si Durna justru terbuka
kedoknya sebagai pendeta bermasalah.
Sayalah
Durna itu. Yang di tengah keluarga pun, mata ini masih sering kelayapan
melihat wanita-wanita cantik di sekitar. Apalagi di tempat-tempat umum,
sekarang banyak wanita yang terang-terangan menonjolkan dadanya,
memamerkan putih lengannya dan membuka pusernya. Betapa berat mengingat
nama Tuhan di wilayah semacam ini.
Dengan
mutu hanya sekelas ini, mendadak saya bisa berlagak menjadi orang tua
yang saleh. Yang marah ketika anak-anak lupa berdoa, lupa menaruh rasa
hormat dan gagal berbakti pada orang tuanya. Sementara anak-anak itu
betul-betul patuh dengan kewajibannya, sementara mereka sedang menuju
menjadi Bima, orang tua ini, masih terhenti di sini, tertahan sebagai
Durna belaka.
Artikel Terkait
0 komentar:
Posting Komentar